BrandinG

23 04 2009

Emotional-Branding Menuju Brand Religion :
Sebuah Bahan Bakar Strategi Bersaing Pada Level
Manajemen Brand Dalam Arena Globalisasi Ekonomi

Oleh :
Rizal A.Hidayat
Marketing And PR Department – UIEU
Andrial_Rizal@yahoo.Com
http://www.fliseorivera.wordpress.com

Abstrak :
Hipertensi arena persaingan dunia bisnis dewasa ini dilukiskan oleh para ekonom globalis sebagai momen pencerahan untuk mengusung spirit Emotional-Branding, yaitu sebagai pilihan utama bahan bakar strategi bersaing yang sudah ditetapkan oleh perusahaan sebelumnya. Efek terpentingnya adalah ketika strategi bersaing berbahan bakar Emotional-Branding ini mulai mengisi masing-masing tahap manajemen kampanye brand, maka the highest destination of branding target itu sendiri sangat jelas, yaitu mencapai fase Brand Religion, sebagai manifestasi diferensiasi keunggulan kompetitif dari positioning produk yang bersangkutan di dalam setiap benak konsumen pelanggannya. Eksistensi fenomena Emotional-Branding inilah yang menjadi point of view kajian tulisan berikut.

Kata Kunci :
Emotional-Branding, Brand Campaign, Cost Leadeship Strategy, Differentiation Strategy, Focus Strategy, Functional Brand, Image Brand, Experiental Brand, Brand Loyalty, Brand Religion

Pendahuluan
Tidak ada kesepakatan secara utuh diantara para pakar maupun masyarakat awam mengenai definisi komprehensif tentang globalisasi. Masing-masing berusaha menganalisis berdasarkan kualitas wacana keilmuannya. Berdasarkan tentang pendeskripsian fenomena tertentu yang akan mereka analisa. Masing-masing berdiri sendiri dengan menafikan komponen-komponen lainnya. Tergantung dari sudut pandang mana globalisasi itu dipelajari sebagai sebuah keyakinan inti akan makna keberadaannya pada setiap aspek kehidupan manusia. Keberadaan globalisasi sebagai sebuah invisible entitas sangat besar pengaruhnya, dan melebihi pengaruh entitas-entitas lain seperti Negara dan organisasi bisnis maupun non bisnis. Bahkan mereka berusaha saling beradaptasi, dan pada fase kehidupan berikutnya, menjadi bagian inheren dalam pola permainan yang disuguhkan globalisasi dengan satu kepatuhan mutlak rule of game, yaitu dependensi yang ter-interkorelasi dalam sebuah komunitas bersama.
Meskipun demikian, setidaknya terdapat tiga kelompok ilmuwan dalam memandang globalisasi sebagai sebuah virus yang menguntungkan dan merugikan (Winarno, 2007). Pertama, kelompok pendukung hiperglobalis. Pada prinsipnya para pendukung hiperglobalis lebih melihat wujud globalisasi hidup dalam serangkaian kegiatan ekonomi. Globalisasi ekonomi akan membawa serta gejala denasionalisasi ekonomi melalui pembentukan jaringan-jaringan produksi transnasional (transnational networks of production), perdagangan dan keuangan. Dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless), pemerintah nasional tidak lebih dari sekedar transmission belts bagi kapital global, atau secara lebih singkat sebagai institusi perantara yang menyusup di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta mekanisme pengaturan global. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk-bentuk baru organisasi sosial yang tengah menggantikan atau yang akhirnya akan menggantikan Negara-bangsa sebagai lembaga utama ekonomi dan unit politik masyarakat dunia. Kedua, Kelompok skeptis. Tesis utama kelompok ini adalah globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. Bagi sebagian besar kaum skeptis, ekonomi dewasa ini lebih didominasi “regionalisasi” karena ekonomi dunia yang dianggap mengglobal oleh kaum hiperglobalis hanya melibatkan ketiga blok perdagangan dan keuangan, yakni Eropa, Asia-Pasifik, dan Amerika Utara. Yang paling kontradiksi dari tesis kaum skeptis adalah bahwa pertumbuhan ekonomi akan memarginalkan Negara-negara dunia ketiga karena perdagangan dan investasi hanya mengalir di kalangan negara-negara industri maju dan kaya. Ketiga, Kelompok Pendukung Transformasionalis. Inti pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa pada permulaan milenium baru, globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan-perubahan social, ekonomi dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia (world order). Mereka menyatakan bahwa proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya, dimana tidak ada lagi perbedaan antara internasional dan domestic, karena hubungan-hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Salah satu pandangan penting dari kaum transformasionalis adalah negara tidak lagi dapat bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional. Sebaliknya, kekuasaan negara bangsa sekarang ini dalam mengambil keputusan harus disejajarkan dengan lembaga-lembaga governance global dan dari sudut pandang hukum internasional. Dalam kondisi seperti ini, negara bangsa yang mengelola dirinya sendiri dan sebagai unit yang otonom lebih merupakan klaim normative dibandingkan dengan suatu pernyataan deskriptif.
Dari eksplanasi singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa baik pandangan kaum hiperglobalis, skeptis maupun transformasionalis memiliki satu benang merah kesimpulan bahwa kekuatan globalisasi ekonomi sebenarnya telah melampaui apa yang dahulu dianggap sebagai kemustahilan the market openness relationship karena di-demarkasi oleh perbedaan fundamental seperangkat regulasi perdagangan dan ekonomi masing-masing negara. Kini tembok pembatas hubungan tersebut telah dihancurkan oleh serangkaian proses sejarah semenjak tembok Berlin runtuh disusul dengan bubarnya Uni Sovyet yang menandai berakhirnya peranan total negara dalam sistem ekonomi tertutup atau ekonomi komando.
Efek terpenting yang menjadi pencerminan Globalisasi Ekonomi adalah hegemoni logika pasar. Globalisasi ekonomi mencerminkan logika pasar untuk berproduksi secara efektif dan efisien bagi mereka yang memiliki modal kuat, selanjutnya telah menjangkau seluruh pelosok bumi secara utuh terhadap produksi, investasi pemasaran dan pembiayaan dengan ciri utamanya adalah semakin kuatnya informasi dan pengetahuan (Juwono Sudarsono, 1995). Dengan semakin kuatnya informasi dan pengetahuan, maka di satu sisi hubungan antar negara dengan berbagai macam isinya termasuk dalam hal ini adalah perusahaan bisnis bisa berhubungan begitu bebas dan terbuka dengan berbagai macam latar belakang sosial, ekonomi dan budaya para customer-nya melintasi batas-batas geografis dimana mereka berada. Pada sisi lain kompetisi antar perusahaan bisnis menjadi lebih kompetitif dan transparan demi memenangkan persaingan pasar global. Setiap perusahaan saling berlomba untuk meraih kemenangan total tanpa batas demi mempertahankan market share, heart share, dan mind share, serta cenderung ekspansif terhadap setiap produk yang mereka pasarkan kepada para customer-nya dari berbagai belahan bumi. Salah satu urat nadi intangible asset perusahaan bisnis agar tetap eksis dalam arena persaingan kompetisi global adalah mengeksplorasi secara kontinyu kegiatan branding melalui emotional-branding.
Spesifikasi tulisan ini bermaterikan pada wacana kajian kekuatan emotional-branding sebagai manifestasi tool perusahaan melalui kegiatan manajemen kampanye brand dengan pilihan strategi bersaing yang sudah ditentukan, dimana keduanya telah mengkonsepsikan emotional-branding sebagai bagian dari unit analisa perspektif kaum hiperglobalis dan transformasionalis dalam bidang ekonomi. Keduanya telah menyepakati kepatuhan mutlak sebuah perusahaan untuk selalu berorientasi pada peraihan keunggulan kompetitif melalui penerapan konsep emotional-branding ini . Keunggulan kompetitif dalam hal ini tidak dipersepsikan menjadi the best corporat among the best corporates. Namun menjadi sebuah perusahaan yang mampu memposisikan kualitas dirinya secara kontinyu pada satu segmen pasar yang cenderung perilaku konsumennya dalam hirarki kebutuhan Maslow berada pada level kebutuhan ego, dan sekaligus pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, dimana sarat dengan aspek-aspek hubungan emosional mereka terhadap produk favoritnya. Dan hal inilah yang terjadi pada mayoritas semua konsumen pada seluruh belahan dunia sekarang.

Kerangka Dasar Pemikiran
Brand dapat disebut pelabelan. Brand dapat membantu penjualan. Brand berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap suatu produk dan layanan, yang diyakini tidak saja dapat memenuhi kebutuhan mereka, tetapi dapat memberikan kepuasan yang lebih baik dan terjamin. Istilah brand muncul ketika persaingan produk semakin tajam dan menyebabkan perlunya penguatan peran label untuk mengelompokkan produk dan layanan ysng dimiliki dalam satu kesatuan guna membedakan produk itu dengan produk pesaing. Brand banyak membantu perusahaan besar menguasai pasar, dimana konsumen justru lebih hafal brand daripada merek barang itu sendiri. Salah satu upaya perusahaan untuk melakukan penetrasi pasar adalah melakukan branding. Istilah ini cukup popular di kalangan pemasaran karena memberikan efek besar terhadap peningkatan penjualan. Branding adalah usaha untuk memperkuat posisi produk di benak konsumen dengan cara menambah equitas dari nama sekumpulan produk. Brand yang berhasil adalah brand yang memiliki sejarah penting terhadap penguasaan informasi, khususnya tentang kelebihan produk bermerek dengan pengalaman positif yang dirasakan oleh konsumen pada produk itu. Jadi sebenarnya branding merupakan wujud nyata dari serangkaian upaya atau kegiatan manajemen perusahaan secara kontinyu dan bekesinambungan dalam rangka penciptaan merek. Ketika penciptaan merek sudah tercapai, maka brand equity dalam setiap benak konsumennya menjadi satu hal penting dalam setiap pengambilan keputusan pembelian, yang pada akhirnya menjadikan konsumen tersebut menjadi pelanggan yang loyal.
Branding adalah semacam roh perusahaan agar bagaimana perusahaan tersebut terus hidup dalam benak setiap konsumennya, karena pada hakekatnya branding merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan kualitas produk dengan customer sebagai user produk yang bersangkutan. Branding (penciptaan merek) bukan hanya mengenai ubikuitas(berada dimana-mana), visibilitas dan fungsi, namun mengenai penciptaan ikatan emosional dengan masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hanya jika sebuah produk atau jasa dapat memicu sebuah dialog emosional dengan para konsumen, barulah produk atau jasa ini memenuhi kualifikasi sebagai merek ( Joel Desgrippes dalam Marc Gobe, 2001 ). Eksplanasi dasar inilah yang memetakan perbedaan mendasar antara fungsi definisi branding dan merek. Apabila branding menjustifikasikan sebuah proses menuju terciptanya karakter khas suatu produk tertentu yang mewakili berbagai macam persepsi, keberadaan fantasi atau wants dari customer pengguna langsung produk tersebut, maka merek dalam hal ini adalah gambaran utuh dari wujud total keberhasilan entitas dialog emosional antara produk tersebut dengan customer-nya. Keberadaan branding ini begitu transparan mendiami seluruh proses kegiatan manajemen, dan juga ketika memasuki wilayah perencanaan strategi promosi dan pemasaran suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena kecepatan efek globalisasi ekonomi dalam bidang pemasaran barang dan jasa telah melahirkan apa yang disebut Peter Drucker sebagai revolusi diam yang sangat mempengaruhi manajemen branding setiap saat tanpa mengenal batasan tempat dan waktu. Pada akhirnya seperti yang sudah dijelaskan dalam epilog paragraph pendahuluan, revolusi diam ini juga melahirkan para konsumen yang perilakunya selalu berusaha setiap saat memenuhi kebutuhan ego (martabat, status, harga diri) dan aktualisasi dirinya (pemenuhan-diri). revolusi diam terjadi dalam lima bidang ( Edersheim, 2007 ) :
1. Informasi yang mengalir.
Sejak ekspansi internet, informasi dapat mengalir dalam waktu sekejap, tanpa memehartikan jarak dan jangkauan dan keberadaaannya benar-benar tak terduga. Dalam ekonomi yang terintegrasi secara global, manajemen harus membuat keputusan setiap jam di siang dan malam hari. Selama beberapa decade, informasi adalah kekuatan. Namun saat ini, dengan ketersediaan yang tak terduga dari informasi instan bagi setiap orang dengan hanya menggunakan laptop, kekuatan sebenarnya datang dari menyaring, menginterpretasikan dan menerjemahkan informasi yang banyak itu ke dalam tindakan.
2. Jangkauan geografis dari perusahaan dan customer meledak.
Dalam pasar yang global, brand diciptakan dan mendapatkan pengenalan yang luas dalam hitungan minggu atau bulan ketimbang tahun, memotong keuntungan yang dimiliki oleh pemain brand terkenal yang terbiasa menjadi pilihan. Pengertian intinya adalah bahwa hubungan antara perusahaan dan customer sudah menjangkau jauh dari batas-batas geografis. Keduanya bisa saling berhubungan tanpa batasan waktu, biaya dan kendala transportasi dalam hitungan detik saja.
3. Asumsi demografis yang paling dasar dijungkirbalikkan.
Populasi masyarakat di negara maju telah tersentak oleh para pekerja yang menua dan tingkat kelahiran yang berkurang. Migrasi dari pekerja industri ke pekerja pengetahuan serta kesuksesan yang meningkat para wanita dalam angkatan kerja telah mengubah kebutuhan customer dan selamanya mengubah hubungan perusahaan, baik dengan customernya maupun dengan karyawannya. Sampai belum lama ini, hanya customer di negara kaya yang dapat mencapai puncak dari piramida Maslow yang berupa aktualisasi diri, dengan dasar piramida berupa makanan dan tempat tinggal. Saat ini, jutaan lebih orang dalam berbagai tingkat sosial telah bebas dari rasa khawatir mengenai hal-hal mendasar; saat ini mereka mencari pelayanan dan kepuasaan diri.
4. Customer maju dan mengambil alih kendali perusahaan.
Customer maju dan mengambil alih kendali perusahaan. Para tidak lagi hanya merupakan penerima pasif dari barang-barang dan jasa; mereka adalah peserta aktif dari lahirnya suatu produk, baik dari seb agai kelompok yang mengeavaluasi produk atau sebagai individu yang bekerja dengan menggunakan program perangkat lunak dan desainer yang merancang segala sesuatu secara spesifik mulai dari celana jins Levi’s sampai alat penerangan. Consumer dapat mengakses pajangan virtal untuk hamper semua produk, dan mereka menginginkan produk yang dibuat sesuai pesanan itu diterima dengan hanya menekan mouse.
5. Dinding yang membatasi sisi dalam dan luar perusahaan runtuh.
Untuk menguji gagasan, perusahaan sekarang menggunakan keahlian yang diambil dari industi yang benar-benar berbeda dan dari kerja sama dengan perusahaan lain yang memiliki bersinggungan.

Manajemen Brand
Kelima faktor atau bidang yang mengalami revolusi diam seperti yang telah diuraikan oleh Drucker di atas sangat mempengaruhi bagaimana kualitas brand harus dikelola sedemikian rupa agar menjadi karakteristik jiwa tersendiri dari keseluruhan proses manajemen secara umum. Awal dari semua ini adalah melalui kegiatan Brand Campaign.
Branding adalah istilah lain dari kegiatan manajemen kampanye produk dan layanan. Kesuksesan yang diraih oleh kampanye ini didasarkan pada kemampuan tim pemasaran dalam menentukan strategi promosi dan distribusi produk secara simultan. Upaya kampanye produk mengalami kegagalan karena strategi itu dilakukan secara tergesa-gesa atau secara spontan.
Ketidakkompakan bagian promosi dan bagian distribusi produk dalam divisi pemasaran dapat menyebabkan kegagalan kampanye. Bagi perusahaan yang ingin menempatkan produknya sebagai national brand harus memiliki perencanaan yang matang. Demikianlah, distribusi menjadi patokan penting bagi tim promosi dalam menentukan langkah strategis yang tepat. Terdapat tahap-tahap penting dalam promosi atau kampanye brand ( Kennedy dan Soemanagara, 2006 ) :

Gambar Tahap-tahap Manajemen Kampanye Brand :

1.Brand Recognition → 2.Brand Preference → 3.Brand Insistence → 4.Lovely Brand/Brand Satisfy

1. Brand Recognition. Pada tahap ini, sebuah brand memasuki tahap pengenalan produk baru menjadi sebuah produk yang familier di mata publik. Brand muncul setiap saat dengan tema sama secara berulang-ulang sehingga brand itu mudah diingat oleh konsumen. Walaupun produk itu menarik untuk dicoba, namun produk itu menghadapi kemungkinan gagal jika produk yang dipromosikan itu tidak ada di pasar. Brand yang masuk dalam kerangka brand recognition adalah brand yang telah dikenal ciri khasnya.
2. Brand Preference. Brand pada tahap ini adalah dimana konsumen telah berpengalaman dengan produk yang ia pilih dari berbagai produk di sekitarnya. Produk yang dirasanya cukup memenuhi kebutuhan menjadi preferensi dari berbagai alternative produk. Konsumen cenderung mencoba produk lain dan produk alternative. Di sini produk baru berpeluang untuk memasuki pasar. Pengalaman yang baik terhadap produk baru membantu mereka mencapai kepuasan. Itulah mengapa perusahaan selalu membuat inovasi baru, meningkatkan kualitas dan penampilan produk, sebagai upaya mempertahankan konsumen agar tidak beralih ke produk lain. Preferensi brand di benak konsumen adalah bagian terpenting.
3. Brand Insistance. Pada tahap ini, brand insistence terjadi ketika konsumen mengambil keputusan bulat untuk mengkonsumsi suatu produk untuk kesekian kalinya. Konsumen lebih mengenal kelebihan produk ini daripada produk-produk lainnya, dan merasa aman untuk mengkonsumsinya. Pengalaman mereka pada penggunaan produk lain dengan brand yang sama juga berakhir dengan pengalaman yang menyenangkan sehingga muncul keyakinan dalam diri mereka untuk selalu menggunakan, atau mencoba produk lain dalam kelompok brand yang sama. Kepuasan yang mereka dapatkan dari penggunaan beberapa produk dalam satu brand menyebabkan tumbuhnya kepercayaan konsumen pada produsen sebagai perusahaan yang menghasilkan produk berkualitas serta memiliki jaminan tinggi, sehingga mereka mulai meninggalkan kebiasaan mengkonsumsi produk sebelumnya.
4. Lovely Brand/Brand Satisfy. Tahap tertinggi brand adalah lovely brand atau brand satisfy, konsumen benar-benar puas terhadap pengalaman yang dialami berulang-ulang dari penggunaan satu atau beberapa produk dalam brand yang sama. Kebulatan tekad yang mereka peroleh pada tahap brand insistence membuat mereka yakin bahwa mereka akan selalu terpuaskan oleh produk-produk itu. Produk yang telah menempatkan dirinya pada lovely brand memperoleh keuntungan yang sangat besar, karena mereka menciptakan “jutaan sales”. Konsumen akan memberikan solusi masalah yang dihadapi oleh rekan mereka dan memberikan saran penggunaan produk yang menurutnya paling baik.

Model Strategi Bersaing
Keunggulan kompetitif equitas brand di samping faktor pengelolaannya yang terpadu dan simultan tidak akan berjalan berkesinambungan tanpa penerapan dukungan strategi bersaing yang tepat sebagai motor penggeraknya. Jadi brand itu sendiri sebenarnya merupakan satu komponen/aset vital yang ikut menjalankan roda strategi bersaing yang sudah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan Porter, maka ada lima stereotype persaingan industri yang masing-masing berbeda pada tingkat eskalasi persaingannya : (1) Masuknya pendatang baru, (2) Ancaman produk pengganti, (3) Kekuatan tawar menawar pembeli (4), Kekuatan tawar menawar pemasok, dan (5) Persaingan diantara para pesaing yang ada
Porter merumuskan tiga strategi bersaing yang inheren dalam mengantisipasi berbagai kekuatan lima persaingan industri tersebut, baik yang bersifat ofensif maupun defensif demi menciptakan posisi defendable (aman) perusahaan yang bersangkutan. Terdapat dua faktor yang diperhitungkan dalam menciptakan strategi bersaing yang tepat. Faktor Pertama, didasarkan pada keunggulan kompetitif organisasi. Menurut Porter keunggulan kompetitif hanya akan diperoleh lewat salah satu dari dua sumber ( Kuncoro, 2006 ) : bisa dari keunggulan menciptakan biaya yang rendah (cost leadership), atau dari kemampuan organisasi untuk berbeda (differentiation) dibandingkan para pesaingnya. Faktor kedua dalam pendekatan ini adalah cakupan produk-pasar (competitive scope) dimana organisasi saling bersaing satu sama lain dalam pasar yang luas dan sempit. Gabungan dari dua faktor ini membentuk dasar dari strategi bersaing generik Porter, yaitu (1) Kepemimpinan biaya (cost leadership), (2) Diferensiasi (differentiation), dan (3) Fokus (berbasis biaya atau differentiation).
Pertama, Strategi kepemimpinan biaya adalah strategi yang digunakan organisasi apabila ingin menjadi pemimpin pasar berbasis biaya rendah dengan basis pelanggan yang luas. Biaya produksi di sini bukan total biaya produksi, dan buka pada harga. Pada strategi ini organisasi ini berfokus pada bagaimana perusahaan mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang rendah. Perusahaan yang mampu memciptakan biaya produksi yang rendah tentu saja mampu menjual produknya dengan harga yang lebih rendah dari pesaing, tetapi masih bisa menghasilkan keuntungan bagi perusahaannya. Perusahaan semacam ini tidak takut terhadap ancaman pesaing yang menurunkan harga. Ciri khas perusahaan yang menerapkan strategi ini biasanya memiliki sedikit lini produk karena semakin banyak varian produk yang dibuat, maka hasilnya akan berbanding lurus terhadap cost production-nya juga. Di samping itu perusahaan ini juga berusaha meminimalisasikan segala biaya yang berhubungan dengan rantai nilai perusahaan (yang rata-rata membutuhkan budget besar) seperti biaya penelitian dan pengembangan, biaya promosi, biaya jasa dan biaya penjualan. Kedua, Strategi diferensiasi. Perusahaan akan menggunakan strategi diferensiasi bila ingin bersaing dengan pesaingnya dalam hal keunikan produk dan jasa yang ditawarkan. Keunikan tersebut dapat dilihat dari ciri produk yang menawarkan nilai-nilai yang konsumen sehingga menjadikan produk tersebut unik dan berbeda di mata konsumen. Konsumen akan rela membayar dengan harga premium bagi produk-produk yang dipersepsikan sebagai produk yang nunik dan berbeda olehnya. Deferensiasi dapat dilakukan dalam banyak bentuk, seperti diferensiasi dalam : gengsi (prestige) dan brand image (BMW, Lenovo, Omega), teknologi (Marantz, Microsoft, Boeing), inovasi (Nokia, Bodyshop), Fitur (Honda Goldwing, mountain bike, Ducati), jasa pelayanan pelanggan (Matahari Department Stores, Indovision), jaringan dealer (Mercedes-Benz, Komatsu). Sangat mungkin bagi perusahaan untuk mendiferensiasikan produk mereka dalam beberapa dimensi sekaligus. Misalnya, BMW, yang mendiferensiasikan produknya sebagai produk yang mampu memberikan prestise kepada penggunanya, merupakan produk berkualitas tinggi dengan teknik pembuatan yang superior. Perusahaan mampu menciptakan keunggulan diferensiasi dan memperoleh kinerja di atas rata-rata ketika harga premium yang mereka tetapkan untuk produknya melebihi biaya ekstra yang mereka keluarkan untuk menjadikan produk mereka unik. Ketiga, Strategi Fokus. Perusahaan dengan strategi fokus melayani kebutuhan spesifik ceruk pasar (market niche). Ia bisa memilih strategi fokus berbasis biaya atau diferensiasi. Perbedaaannya terletak pada segmentasinya yang lebih kecil. Hal ini ditempuh oleh strategi fokus melalui tiga cara : (1) Geografis, (2) Tipe Konsumen dan (3) Segmen Lini produk. Perusahaan dengan strategi ini dapat berlandaskan keunggulan biaya atau diferensiasi. Perusahaan yang menerapkan strategi focus yang berbasis pada biaya, bersaing dengan pesaing lain dalam industri untuk menjadi pemimpin pasar pada celah pasar yang sempit dan spesifik. Perusahaan yang menggunakan strategi fokus berbasis diferensiasi bisa menggunakan bentuk apapun yang digunakan oleh perusahaan yang berbasis diferensiasi : fitur produk, inovasi produk, kualitas produk dan lainnya. Yang menjadi perbedaan adalah strategi fokus berbasis diferensiasi berspesialisasi pada satu atau beberapa segmen pasar saja.

Pembahasan
Ketika karakter strategi bersaing telah ditetapkan, maka branding mulai memainkan akselerasinya. Apapun strategi bersaing yang telah dipilih oleh perusahaan, maka branding seperti roh perusahaan. Sekalipun perusahaan memilih strategi bersaing dengan menetapkan harga rendah untuk segmen pasar spesifik, akselerasi branding tidak dapat dianggap remeh keberadaannya. Melalui penerapan kompetensi manajemen brand berbasis strategi bersaing apapun yang dipilih, maka kunci inti dari ini semua adalah branding yang mampu menggugah emosi konsumen sampai pada tingkat core of belief-nya terhadap produk yang bersangkutan. Baik brand ketika berada pada level campaign, recognition, insistence dan lovely/satisfy memerlukan hubungan-hubungan emosional yang semakin tinggi dan sensitif pada setiap level manajemen brand.
Aspek hubungan emosional brand terhadap konsumen yang nantinya akan menjadi pelanggan produk yang bersangkutan sangat berkaitan erat dengan prinsip-prinsip determinasi brand ke dalam beberapa intisari interpretasi khusus ( Kottler dan Pfoertsch, 2008 ) bahwa : pertama, brand lebih dari sekedar produk, nama brand, logo, symbol, slogan, iklan, jingle, juru bicara; ini semua hanyalah komponen berwujud dari suatu brand-bukan brand itu sendiri! Kedua, brand adalah janji, totalitas dari suatu persepsi-segala sesuatu yang anda lihat, dengar, baca, rasakan, pikirkan dan lain-lain-tentang produk atau jasa atau bisnis. Brand memiliki posisi istimewa di benak customer didasari pada pengalaaman masa lalu, pergaulan dan ekspetasi ke depan. Brand juga merupakan jalan pintas bagi atribut, manfaat, keyakinan dan nilai mendeferiansi, mengurangi kompleksitas dan menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Dari kedua prinsip ini maka dalam branding harus dibangun oleh lima prinsip dasar awal kesuksesan brand ( ibid ) : konsistensi, kejelasan, kontinuitas, visibilitas dan autensititas. Konsistensi diperlukan oleh semua dimensi terkait, tidak hanya yang terkait produk, tetapi juga dalam saluran pemasaran, dan bahkan pada cara karyawan menjawab telepon atau merespons keluhan customer. Tanggung jawab sosial dan perencanaan investasi juga merupakan bagian dari hal ini. Tentu saja konsistensi strategi brand tidak menjadi benar-benar efektif jika prinsip branding lain tidak dimasukkan. Kejelasan dalam branding adalah penting karena tanpa kejelasan tidak ada brand. Kontinuitas menyiratkan bahwa perusahaan tidak boleh mengubah apa yang diperjuangkannya hanya untuk perubahan. Brand yang kuat dikelola secara terus menerus. Orang mengandalkan dan percaya karena mereka tahu apa yang dapat diharapkan dari suatu brand yang kuat. Melaksanakan aturan-aturan ini dengan konsisten tidaklah cukup jika brand tidak selalu terlihat di mata khalayak yang menjadi target brand. Visibilitas brand yang menaikkan penyingkapan brand di mata konsumen adalah penting untuk mencapai mindshare. Autentisitas brand diarahkan pada pemikiran dan tindakan setiap orang di perusahaan dengan fokus menciptakan orisinalitas dan perasaan customer untuk memiliki, menggunakan, atau melakukan pencarian unik, walaupun hal ini terjadi tanpa disadari.
Kelima prinsip dasar awal kesuksesan branding ini merupakan serangkaian manifestasi dari tiga tipologi brand yaitu functional brand, image brand dan experiental brand ( AB.Susanto dan Himawan Wijanarko, 2004 ). Brand functional berkaitan manfaat fungsional (functional benefit) sehingga sangat terkait dengan penafsiran yang dikaitkan dengan atribut-atribut fungsional. Contohnya Rinso dan Pepsodent. Merek fungsional sangat mengutamakan kinerja produk dan nilai ekonomisnya. Image brand terutama untuk memberikan manfaat ekspresi diri (self expression benefit). Contohnya adalah Mount Blanc dan Mercedes Benz. Sebagai merk yang bertujuan untuk meningkatkan citra pemakainya, merek ini haruslah mempunyai kekuatan untuk membangkitkan keinginan. Experiental Brands terutama untuk memberikan manfaat emosional. Contohnya Disney dan Singapore Airlines. Merek eksperiental sangat mengutamakan kemampuannya dalam memberikan pengalaman yang unik kepada pelanggan, sehingga pelanggan merasa terkesan dan merasakan bedanya dengan pesaing. Faktor yang menentukan adalah 2 P yaitu place dan people. Place adalah tempat atau sarana untuk memberikan pengalaman yang dapat dirasakan oleh pelanggan (wahana-Disneyland dan pesawat-Singapore Airlines) dan people adalah cara para karyawan memberikan pelayanan (service delivery) kepada pelanggan. Dalam pengambilan keputusan terhadap pemilihan merek ini konsumen mempunyai keterlibatan tinggi. Kunci untuk mengelola merek ini adalah konsistensi dan kepuasan.
Berdasarkan kedua prinsip ini maka setiap level manajemen branding pada berbagai tipologi-nya terhadap strategi bersaing yang telah ditetapkan harus mengejawantahkan aspek emosional dari produk dan sistem distribusinya yang menjadi kunci perbedaan antara pilihan akhir konsumen dengan harga yang mereka bayar. Tekanan utama pada aspek emosional berarti “bagaimana suatu merek menggugah perasaan dan emosi konsumen; bagaimana suatu merek menjadi hidup bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan lama. Hal ini berarti bahwa pemahaman terhadap kebutuhan dan keinginan emosional manusia benar-benar merupakan kunci untuk sukses”, terutama pada saat ini lebih daripada sebelumnya. Perusahaan harus mengambil langkah-langkah pasti dalam membangun koneksi dan hubungan yang lebih kuat yang “mengakui konsumen mereka sebagai rekan. Industri saat ini harus membawakan konsumen produk yang mereka inginkan, tepat pada saat mereka menginginkan produk tersebut, melalui saluran yang inspiratif dan merespon kebutuhan mereka dengan intim”. Inilah yang dimaksud sebagai dunia emotiona-branding yang mendinamisasikan unsur-unsur antropologi, imajinasi, pengalaman panca indra dan pendekatan visioner menuju perubahan. Emotional branding memfokuskan pada aspek yang paling mendesak dari karakter manusia; keinginan untuk memperoleh kepuasan material, dan mengalami pemenuhan emosional. Suatu merek berada pada posisi yang unik untuk memperoleh aspek-aspek ini karena merek dapat memanfaatkan dorongan-dorongan aspirasional yang mendasari motivasi manusia. Dunia emotional branding menata kembali kesalahan konsep terbesar dalam strategi branding, yaitu keyakinan bahwa “branding berkaitan dengan pangsa pasar, padahal branding sesungguhnya berkaitan dengan pangsa pikiran dan emosi”. Berdasarkan filosofi konsep dasar inilah, maka terdapat empat pilar penyangga emotional-branding : hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi dan visi. Terminal terakhir dari pencapaian emotional branding dengan empat variabel penyangga di atas adalah keberhasilan suatu merk bersangkutan memasuki wilayah core believer pemenuhan kepuasan material dan emosional konsumen yang disebut sebagai Brand Religion. Brand Religion merupakan tahap kelima atau terakhir dari keempat tahapan manajemen kampanye brand.
Koherensi sinergis faktor hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi dan visi dimaksudkan bahwa dalam faktor pengertian hubungan berarti pertama, mengetahui landscape konsumen yang menjadi pelanggan sebenarnya. Pemahaman landscape konsumen yang jelas dan mendalam akan menghasilkan aspek kedua, bidikan kritria emosional pelanggan yang tepat sasaran.Tiga populasi konsumen utama yang menghuni landscape ritel saat ini adalah generasi baby boom (usia 37 tahun-50 tahun), gen X (usia 25 tahun-36 tahun) dan gen Y (usia 6 tahun-24 tahun). Tiga segmen populasi ini sama sekali berbeda. Generasi Baby Boom memberi respon terhadap hal-hal seperti prestasi, status dan kinerja. Generasi gen X mementingkan imajinasi, kreativitas dan hubungan, sedangkan generasi gen Y merespon pada kesenangan, interaktivitas dan pengalaman. Emotional branding yang harus disemaikan kepada generasi Baby Boom adalah aspek kenyamanan, jaminan dan solusi bagi kelompok dimana ini, berbanding lurus terhadap prestasi, status dan kinerja. Bagi generasi gen X, branding yang sarat aspek emotional adalah yang mampu menyemaikan mereka mempunyai selera yang tajam dan berbeda yang secara bebas mengadaptasi dan meninggalkan fesyen serta merek yang ada seraya memenuhi kebutuhan akan fesyen yang trendi dan kebutuhan untuk menjadi pribadi yang unik. Singkatnya potret era post modern. Sebaliknya terhadap generasi gen Y, mengikuti gaya hidup mereka yang bergerak cepat dan selera yang cepat berubah memberikan satu kesimpulan tersendiri. Generasi gen Y adalah generasi yang berkarakter penuntut, optimis dan individualistis. Mereka memiliki kemauan dan kekuatan tersendiri untuk menentukan apa yang akan dan tidak akan mereka beli. Skema branding yang tepat untuk memasuki wilayah kapasitas emosional branding untuk mereka adalah ketika justru membiarkan mereka sendiri memberi tahu petunjuk jalan yang mereka inginkan, yaitu karakter produk yang mencerminkan kolaborasi kesenangan, interaktivitas dan pengalaman mereka yang mampu memberikan emotional taste tersendiri yang membedakan mereka dari generasi baby boomer dan gen X. Baik generasi baby boom, gen x dan gen Y pada hakekatnya menekankan faktor pengalaman panca indera yang membutuhkan kreativitas eksplorasi imajinasi berdasarkan orientasi visi produk yang bersangkutan terhadap penawaran emosional benefit sebagai cermin ekspresi diri dari masing-masing generasi tersebut.
Brand yang ber-diferensiasi kompetitif adalah brand yang mampu mengisi ceruk suasana pergulatan pikiran dan emosional dalam benak konsumennya. Maknanya lebih dari sekedar memasuki pangsa pasar dengan berikut pemahaman holistik perilaku konsumen yang eligible terhadap produk yang bersangkutan. Jadi Branding dalam setiap manajemen kampanyenya harus menterjemahkan karakter brand yang penuh suasana pergulatan pikiran dan emosional tersebut ke dalam desain produk, kualitas produk, teknik promosi, sevice, after sales service dan komunikasi pemasarannya yang terus berkesinambungan. Hal ini tidak bermaksud untuk memecah belah fokus loyalitas konsumen yang notabene menjadi pelanggan, namun lebih dari itu adalah bagaimana menjadikan sebuah brand tersebut memiliki kekuatan heart and mind share yang tidak dapat begitu saja mudah digeser oleh pemain-pemain brand yang relatif memiliki karakteristik produk sejenis. Oleh karena itu pemenuhan kondisi-kondisi emosional, dimana sebuah brand mulai dari aspek desain produk sampai dengan komunikasi pemasarannya dari tiap level manajemen kampanyenya harus memiliki muatan karakternya ke dalam variabel pengalaman panca indera sebagai kelanjutan faktor hubungan yaitu bunyi yang membawa suasana, warna yang menghipnotis/bunyi yang memikat, rasa yang menggiurkan, bentuk yang menyentuh dan aroma yang menggoda. Kelima variabel ini harus ter-representatikan pada tiap generasi konsumen, baik untuk baby boomer, gen x maupun gen y. Dari kelima varibel inilah hasil imajinasi berupa brand yang bernilai unggul dan kompetitif ber-diferensiasi unik menjadi unvaluable- survived asset sepanjang masa. Tag line brand yang diusung oleh kelima variabel emosional branding ini adalah tercapainya visi corporat semula, yaitu win the customer’s heart and mind share forever.
Variabel pertama, bunyi yang menggoda. Secara umum ketika konsumen diperlihatkan suatu peroduk dan iklan produk, biasanya mereka tidak merasakan sebuah kebutuhan personal sebuah produk, dan juga tidak termasuk atau ingin membeli peroduk tersebut. Karena begitu banyak individu yang tidak secara aktif mencari informasi tentang produk, maka menstimulasi dan mempengaruhi emosi adalah cara yang lebih baik untuk membedakan suatu produk dari produk lainnya dan untuk menarik minat konsumen. Musik adalah pendekatan yang efektif karena musik membebaskan diri dari pikiran rasional dan langsung mengarah ke pikiran emosional, area dimana para konsumen digerakkan oleh keinginan bersuka ria. Variabel kedua, warna yang menghipnotis/simbol yang memikat. Branding melalui warna bukanlah membicarakan merk yang cantik atau indah. Warna adalah tentang menyampaikan informasi penting kepada konsumen anda (yang mungkin, selanjutnya, berhubungan dengan kecantikan atau keindahan yang menyenangkan). Warna memicu respon yang sangat spesifik dalam sistem saraf pusat dan kortex otak (cerebral cortex). Sekali mempengaruhi cerebral cortex, warna dapat mengaktifkan pikiran, memori dan persepsi tertentu. Stimulan ini mendorong peningkatan kemampuan konsumen untuk memproses informasi. Warna yang dipilih secara tepat mengidentifikasi logo, produk, tampilan merek, serta merangsang ingatan yang lebih baik terhadap merek dan sebagainya, seiring dengan pemahaman yang semakin akurat terhadap apa yang diwakilkan oleh merek. Pemilihan warna yang buruk akan mengaburkan pesan, membingungkan konsumen dan dalam situasi ekstrem, menyebabkan kegagalan suatu merek. Warna sering kali menunjukkan suasana hati sebuah merek dalam logo dan kemasan. Variabel ketiga, rasa yang menggiurkan. Para pembeli mencari tempat untuk melarikan diri dari tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab di rumah, suatu tempat dimana mereka dapat bersantai dan berinteraksi dengan menyenangkan. Secangkir kopi, satu gelas anggur atau beberapa buah permen dapat membuat suatu perbedaan. Bagi kebanyakan pembeli, pelayanan ini jauh lebih bernilai dibandingkan label harga yang menempel, baik itu karena manfaatnya yang tampak (tangible) maupun karena nilai simbolis dari tindakan (gesture) tersebut. Jangan biarkan konsumen haus akan kasih sayang. Variabel keempat, bentuk yang menyentuh. Diasumsikan, bahwa para pembeli mengkompensasi ketiadaan informasi dengan cara menggunakan indra mereka untuk memperoleh lenih banyak informasi. Sentuhan, baik pada produk itu sendiri, aksesori took, temperatur ruangan atau bahkan lantai atau pegangan pintu depan, adalah suatu dimensi dari pengalaman merek. Secara khusus dalam dunia yang telah kehilangan indra sentuhan (tactile deprive) ini, terutama yang semakin dibatasi oleh kemajuan internet, maka bisnis yang memberikan sentuhan akan dihargai oleh konsumen. Beberapa bisnis telah benar-benar membuat desain produk yang menarik dengan tujuan untuk membuat merek mereka terasa menyenangkan saat disentuh, karena sentuhan merupakan suatu cara yang cukup akurat, untuk merasakan memiliki suatu obyek. Variabel kelima, aroma yang menggoda. Penciuman merupakan indra yang paling kuat, namun aroma merupakan alat yang seringkali diabaikan dalam upaya memberikan pengalaman yang emosional dan menyenangkan pada konsumen. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa aroma memiliki potensi yang lebih dibandingkan dengan indra lainnya untuk membangkitkan emosi kita. Hal ini mungkin karena terdapat hubungan erat antara wilayah penciuman (olfactory) dari otak dengan amygdale-hippocampal complex (wilayah dimana memori emosional diproses) dibandingkan dengan yang dimiliki oleh indra lainnya. Aroma tidak disaring keluar oleh otak; aroma berkenaan dengan insting dan spontanitas. Maka dari itu hidung konsumen anda merupakan jalur langsung menuju memori dan emosi mereka yang menunggu stimulasi anda. Dimana anda menginginkan konsumen anda berada? Sebuah kamar tidur yang romantis? Kebun binatang? Atau mungkin dapur? Dimanapun lokasinya, semakin kaya rangsangan lingkungannya semakin baik, dan aroma seharusnya merupakan bagian vital dari rencana branding ( Marc Gobé, 2001 ).
Kelima variabel emosional-branding di atas merupakan kelima unsur pembentuk bahan bakar kepribadian merek yang menggerakkan motor inovasi. Inovasi adalah sahabat terbaik merek. Sahabat terbaik merek yang sarat dengan karakter pribadi merek yang tak terlupakan. Berinovasi dalam kelima variabel emosional branding ini berarti menciptakan inspirasi paradigma kreativitas berpikir dan bertindak yang berada di luar wilayah kelaziman. Meyakinkan konsumen untuk membeli sebuah produk atau jasa dalam lingkungan yang sangat jenuh dan kompetitif jelas sangat sulit. Kesuksesannya sangat tergantung pada pemahaman tentang kekuatan emosional yang luar biasa dan tak terbatas, kekuatan yang sangat mempengaruhi semua orang dalam membuat keputusan. Serupa dengan semua upaya berharga lainnya, tidak ada pedoman pasti tentang cara terbaik untuk melakukan hal ini. Kreativitas tidak bekerja seperti itu! Merek harus memiliki komitmen terus menerus untuk membangun kultur terbuka berorientasi pada hubungan, yang merangsang kepekaan/pemahaman emosional, dan terus mempertanyakan status quo, yang pada gilirannya akan menimbulkan ekspresi kreativitas menggetarkan hati. Jenis inspirasi yang akan memunculkan program desain merek yang inovativ dalam pengembangan produk, pengemasan, penjualan, kehadiran merek, dan iklan tidak bisa diawetkan atau dibeli, tetapi dapat dicari dan kemudian dijual.
Emotional-branding akan mencakup semua hal sinergis yang bermutualisma terhadap identitas budaya perusahaan yang tercermin dari segala pikiran dan tindakan unit/departemen pembentuk indentitas perusahaan tersebut terhadap ekspetasi dan ekspresi pelanggan. Mulai dari program identitas perusahaan yang didiktekan sampai ke program yang terkait secara emosional, semuanya merupakan ekspresi dari budaya perusahaan, kepribadian perusahaan, serta produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan : simbol dan fitur unik dari nilai yang seharusnya dapat membangkitkan rasa percaya konsumen, karyawan, klien, pemasok dan komunitas keuangan. Coca Cola, IBM dan Mercedes adalah contoh perusahaan yang memiliki program identitas yang sukses mampu bertahan dalam ujian waktu. Tulisan tipografis Coca Cola dan warna merahnya yang menonjol sangat unik dan melekat dalam ingatan; logo IBM-dengan warna biru yang unik-dikenal di seluruh dunia; logo bintang tiga berkaki tiga dalam lingkaran milik Mercedes tidak hanya dilihat sebagai jaminan produksi berkualitas tinggi, tetapi juga bertindak sebagai simbol nilai prestise mobil dan dapat diartikan sebagai simbol selera yang tinggi dan simbol status pemiliknya, selalu fokus pada peralihan dari budaya rasionalitas (berbasis fungsi dan manfaat dari produk) ke budaya keinginan (berbasis ikatan emosional antar konsumen dengan merek).
Orientasi terhadap budaya keinginan berbasis ikatan emosional antara konsumen dengan merek dideskripsikan dengan begitu determinatif oleh Michael Chandler dalam sebuah Magnum Opus-nya yang berjudul Dream-weaving (Menenun Impian). Saatnya memainkan tangan terkuat anda, tangan yang akan membedakan anda, perusahaan anda dan karyawan anda dari pesaing, suatu strategi yang kebal terhadap serangan dari pesaing, serangkaian taktik yang tidak hanya akan memperbaiki kemampulabaan, tetapi juga sangat efektif sehingga menjadi penggerak perusahaan anda. Anda tidak akan lagi terjebak di dalam arena yang dipenuhi oleh puluhan ribu pesaing yang menjual produk dan layanan serupa, saling berperang berbasis harga sementara konsumen menonton dan akhirnya menjadi pemenang tunggal dalam pertempuran yang tidak mungkin dimenangkan oleh perusahaan manapun. Ucapkan selamat tinggal untuk semua itu. Doakan semoga pesaing anda sukses, karena anda memasuki suatu arena yang sepenuhnya baru, yang dipenuhi oleh konsumen antusias, arena yang hanya dimiliki satu pemain : DreamWeaver (Penenun Impian).
Meraih impian adalah tujuan tertinggi manusia. Itu adalah gerbang menuju surga. Dan kunci pembuka gerbang ini adalah iklan, pemasaran dan relasi publik terkuat di bumi: emosi. Mengapa begitu? Karena tidak ada keputusan pembelian di muka bumi yang tidak didasarkan pada emosi dan dijustifikasi oleh logika. Mengapa? Karena manusia adalah mahluk emosional. Cinta, benci, gembira, sedih, dan pertempuran antara kebatilan dengan kebenaran, kebaikan dengan kejahatan dan berharga atau tidak berharga semuanya terjadi di dalam arena emosional. Meskipun tersedia jawaban yang logis dan rasional, emosi biasanya lebih berpengaruh. Itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Dan apa target dari medan perang emosional? Peralihan impian individual seseorang. Upaya mewujudkan cita-cita jelas merupakan isu paling penting dalam kehidupan seseorang. Titik segala hal atau setiap orang yang tidak berperan dalam merealisasikan impian akan terabaikan.
Apa hubungannya menenun impian emosional ini dengan perusahaan, toko, komoditas, bank anda atau sebuah universitas? Segalanya. Semuanya. Perusahaan yang menyadari dan peka terhadap pengaruh signifikan dari emosi dan pemenuhan impian dalam kehidupan konsumen, akan berupaya untuk membedakan diri mereka dari pesaing. Perusahaan penenun-impian berfokus pada upaya membuat impian konsumen menjadi kenyatan. Baik manajemen merek, iklan, kontak, pemasaran, penjualan dan interaksi dengan konsumen (dalam segala lini manajemen perusahaan dari top sampai bottom) berfokus pada pemenuhan impian konsumen, apakah itu cucian lebih bersih, gigi lebih putih, jaminan terbaik universitas atau mobil balap terbaru berwarna merah menyala. Tidak ada pesan-pesan yang saling bertentangan.
Memasuki dunia impian konsumen berarti mengeksplorasi kapasitas wilayah emosi konsumen sampai dengan batas terjauh dalam medan persepsi keinginan konsumen. Rasionalitas logika keputusan pembelian konsumen yang menjiwai setiap tahap branding dalam manajemen kampanye brand dengan dipenuhi kelima unsur utama emotional-branding tersebut akan menghasilkan brand lovely/satisfaction dalam wujudnya sebagai brand religion, sebagai pencapain tertinggi realisasi penuh impian tiap konsumen, dimana menjadikan konsumen tersebut sebagai pelanggan (customer) setia kita selamanya. Jika, secara operasional, bisnis anda tidak logis, tidak rasional atau bersifat manipulatif, emosi tidak akan membantu. Konsumen mesti yakin pada kejujuran, kemahiran, profesionalisme, integritas dan kepedulian anda terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan mereka, karena jika tidak, hubungan anda dengan mereka tidak akan bertahan lama. Ingatlah peribahasa “anda hanya bisa membohongi seseorang satu kali”. Jika seseorang mengetahui bahwa anda atau bisnis anda mempermainkannya, impiannya, peluang anda membentuk hubungan dengannya, pada level apapun, akan menghilang. Raib ( Michael Chandler, 2006 ). Loyalitas hubungan dengan konsumen yang notabene adalah pelanggan kita dimulai dari sebuah ikatan hubungan yang lebih mengedepankan aspek emosional. Emosi lebih kuat daripada logika. Oleh karena itu besaran ukuran market share saja tidak begitu saja signifikan jika tidak diliputi oleh jiwa heart and mind share’s customer kita. “Bukan kuantitas pangsa pasar yang harus dijelajahi keberadaannya, akan tetapi kualitas pangsa pasar yang tercermin pada kekuatan entitas mutlak keunggulan kualitas heart and mind share suatu produk barang atau jasa tersebut di dalam benak customer maupun competitor-nya”. Ketiadaan emosi tersebut membuat pembelian yang berulang menjadi sebuah aktivitas mekanis, proses perilaku, membuat pelanggan tidak mempunyai alasan nyata untuk tinggal. Dan akhirnya dengan sukarela mereka meninggalkan kita tanpa pernah berpaling kembali.
Pencapaian tertinggi emotional-branding beserta kelima pondasi pembentuknya seperti tersebut di atas adalah brand religion. Brand religion adalah capaian tertinggi sebuah merek. Ia adalah “ultimate destination of a brand”. Anda boleh mencapai brand awareness tinggi dan brand loyalty kuat. Anda juga boleh memiliki brand value dan brand culture yang kukuh. Namun, itu semua belum mencapai kulminasi jika anda belum bunya brand religion. brand religion dapat ditemukan pada emotional-branding yang sudah mapan pada fase lovely brand. Kuantitas pangsa pasar dalam berbagai jumlah customer berikut perilaku dan keputusan pembeliannya sudah bukan segalanya. “Pemenang sejati suatu produk justru terjadi ketika kualitas hasil tenunan demi tenunan impian konsumen terealisasikan begitu emosional”. Hal ini hanya terdapat pada brand yang berada dalam kemasan brand religion. “Level kuantitas sudah tereliminir sedemikian rupa oleh brand religion yang lebih mengutamakan aspek kualitas hubungan emosional antara customer dengan produk yang bersangkutan”. Brand religion adalah sebuah posisi ketika merek anda sudah menjadi semacam agama (baca: keyakinan inti/core belief-penulis) bagi customer anda. Bagi customer, ia sudah menjadi semacam kepercayaan, ketika di atas kepercayaan tersebut terbangun sebuah “ikatan spiritual” antara merek dan si customer. Dan akhirnya, ketika merek anda telah mencapai level ini, anda akan mendapat “kemewahan” yang tak akan didapat pesaing anda berupa customer involvement yang amat tinggi dan loyalitas yang tak akan mungkin tertandingi oleh pesaing anda ( Hermawan Kertajaya, 2007 ). Akan tetapi, walaupun proses ke arah brand religion ini sepertinya random, ada satu hal yang hampir pasti, yaitu bahwa brand religion diperoleh bukan karena proposisi nilai fungsional, melainkan lebih karena emosional. “Brand yang karismatik tidak hanya menawarkan value emosional, intelektual, atau bahkan fungsional, tetapi juga menawarkan value spiritual yang menjadi dasar bagi pembentukan ikatan spiritual antara brand itu dan pelanggan”.
Banyak pemain yang terjebak pada kompetisi wilayah fungsional maupun intelektual dengan variasi penerapan strategi bersaing berbasis harga, promosi atau gabungan dari keduanya seperti yang telah dijelaskan pada paragraf pemikiran awal. Namun mereka lupa bahwa di atas itu semua wilayah emosional tetap harus dimasukkan sebagai unsur pembentuk strategi bersaing, dimana mengedepankan motto Always Being Toward To The Ultimate Destination Of A Brand. Biasanya, visi menuju level tertinggi tersebut memang ada dalam perencanaan strategis manajemen suatu perusahaan atau institusi terkait, namun dalam perjalananannya ketika mungkin sasaran jangka pendek maupun panjang mereka terpenuhi, seketika itu pula visibilitas perjalanan menuju fase yang paling vital berikutnya, yaitu brand religion menjadi kabur, bahkan begitu absurd untuk ditempuh. Berbagai argumen excuse alasan datang silih berganti hanya mungkin karena faktor pesaing yang lebih kompeten dalam menyajikan harga yang lebih rendah, promosi yang begitu intuitif ataupun ekuitas merek yang lebih inspiratif. Apabila dikaji lebih mendalam lagi, siapapun bisa memasuki wilayah emosional konsumen yang justru tidak semua pemain/perusahaan/institusi mau memasukinya, karena terkait dengan memasuki suatu eksplorasi petualangan wilayah core belief konsumen yang penuh dengan pekerjaan menenun impian emosional konsumen yang harus dirajut satu demi satu, dimana semua ini harus diawali dengan emotional-branding campaign. Banyak dari mereka tidak sabar untuk segera menikmati hasilnya demi keuntungan semata matter profit-oriented. Bermain di medan emosional berarti anda dalam jangka panjang nantinya akan lebih banyak menikmati un-matter profit, sesuatu yang tidak semua pemain memiliki kesabaran untuk mencapainya, tetapi pintu orientasi dan kesempatan selalu terbuka lebar bagi perusahaan atau institusi yang mau memasukinya demi pencapain tahap ultimately un-matter satisfaction, yaitu kemewahan highest customer involvement dan loyalitas yang tak tertandingi. Oleh karena itu sekali lagi dalam hakekat setiap tahap manajemen kampanye brand, dengan menggunakan emotional-branding berarti suatu perusahaan/institusi berbasis orientasi produk barang maupun jasa telah menempatkan tenunan impian konsumennya pada wilayah brand religion. Ini semua pada akhirnya menjadikan perusahaan/institusi tersebut ter-diferensiasi manunggal secara spiritual dalam gelombang arus arena persaingan globalisasi ekonomi yang sangat kompetitif.

Kesimpulan
Baik kelompok pendukung hiperglobalis maupun pendukung transformasionalis sepakat bahwa globalisasi ekonomi mencerminkan kekuatan logika pasar untuk berproduksi secara efektif dan efisien, dimana jangkauan kekuatannya telah meliputi segala aspek terkait dengan produksi, investasi, pemasaran dan pembiayaan. Dengan ditambah semakin menguatnya arus informasi dan pengetahuan, maka efek revolusi diam seperti yang dikemukakan oleh Peter Drucker juga mempengaruhi ketatnya arena kompetisi antar produk (tangible maupun intangible) dalam meraih keunggulan kompetitif masing-masing. Kuncinya dalam hal ini adalah terus mengeksplorasi secara kontinyu dan inovatif melalui kegiatan emotional-branding.
Perusahaan harus mengambil langkah-langkah pasti dalam membangun koneksi dan hubungan yang lebih kuat dimana mengakui konsumen mereka sebagai rekan. Kemampuan untuk merespon secara intim dan adaptif untuk membawa konsumen ke dalam produk yang mereka inginkan, tepat pada saat mereka menginginkan melalui saluran yang inspiratif inilah yang disebut sebagai dunia emotional-branding. Dunia emotional-branding menata kembali kesalahan konsep terbesar dalam strategi branding, yaitu keyakinan bahwa branding berkaitan dengan pangsa pasar, padahal branding sesungguhnya berkaitan dengan pangsa pikiran dan emosi, yang berarti tekanan terbesar ada pada pencapaian heart and mind share produk yang bersangkutan. Berdasarkan empat pilar penyangga emotional-branding yaitu hubungan, pengalaman panca indera, imajinasi dan visi, maka terminal akhir dari manajemen kampanye brand itu sendiri sebenarnya bukan pada fase brand lovely/brand satisfy, namun untuk mencapai brand religion. Brand religion adalah sebuah ultimate terminal posisi ketika core belief sudah menjadi suatu bangunan ikatan spiritual antara brand dan customer yang bersangkutan. Brand religion diperoleh bukan diperoleh karena brand tersebut ber-proposisi nilai fungsional, melainkan lebih karena emosional. Brand yang karismatik pada akhirnya tidak hanya menggabungkan penawaran value fungsional, emosional, bahkan intelektual, tetapi menjadi spritual value yang menjadi dasar bagi pembentukan ikatan spiritual antara brand itu dan pelanggan. Hal ini adalah suatu kemewahan tersendiri berupa customer involvement dan highest loyalty yang tak akan mungkin tertandingi oleh competitor manapun.
Strategi bersaing yang meliputi cost leadership, differentiaton dan focus pada prinsipnya merupakan road map dari proses awal dari branding menenun impian untuk meraih impian tertinggi manusia yaitu pemenuhan emosi sebagai relasi publik terkuat dalam wujud iklan maupun taktik komunikasi pemasarannya. Baik pilihan cost leadership, differentiation maupun focus akan diaplikasikan pada masing-masing level manajemen kampanye brand yang menghasilkan tiga tipologi dasar brand, yaitu functional brand, image brand dan experiental brand. Brand lovely/brand satisfy dapat ditemukan pada ketiga tipologi brand ini. Namun seperti yang jauh hari sudah diperingatkan kembali oleh revolusi diam-nya Peter Drucker, maka relasi terkuat ini harus berbahan bakar apa yang disebut sebagai emotional-branding. Dengan strategi bersaing yang sudah diisi oleh bahan bakar emotional-branding ini, maka tujuan manajemen kampanye brand bisa lebih terfokus pada satu tipologi inti yang mengartikulasikan ketiga tipologi brand yang sudah ada, yaitu Brand Religion, yang telah menjawab satu kunci dasar pertanyaan dari penggambaran fenomena economic borderless : yaitu bagaimana suatu brand dapat menggugah perasaan dan emosi konsumen, dimana menjadi hidup bagi masyarakat dan membentuk hubungan yang mendalam dan tahan lama. Emotional-branding menghasilkan karakter brand religion yang ber-diferensiasi kompetitif. Suatu brand yang telah berhasil mengisi ceruk suasana pergulatan pikiran, perasaan dan emosi dalam benak setiap kosumen pelanggannya.

Daftar Pustaka

Chandler, Michael, “Dream Weaving : Rahasia Menaklukkan Pesaing Dalam Bisnis”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2003.

Edersheim, Elizabeth Haas., “The Definitive Drucker”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

Gobé, Marc, “Emotional Branding : Paradigma Baru Untuk Menghubungkan Merk Dengan Pelanggan”, PT. Erlangga, Jakarta, 2005.

Kuncoro, Mudrajad, “Strategi : Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif ?”, PT. Erlangga, Jakarta, 2006.

Kotler, Philip dan Waldemar Pfoertsch, “B2B Brand Management : Dengan Branding Membangun Keunggulan Dan Memenangi Kompetisi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006.

Kartajaya, Hermawan, “On Brand” – PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2004.

Kennedy, John E dan R.Dermawan Soemanagara, “Marketing Communication : Taktik Dan Strategi”, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006.

Sudarsono, Juwono, “Politik, Ekonomi Dan Strategi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Susanto,AB dan Himawan Wijanarko, “Power Branding : Membangun Brand Yang Legendaris”, PT.Mizan Pustaka, Bandung, 2004.

Winarno, Budi, “Globalisasi Dan Krisis Demokrasi”, MedPress, Yogyakarta, 2007.


Actions

Information

Leave a comment